Mendongak Langit: Gambaran Diri sebagai Guru Penggerak di Masa Depan


 Mendongak Langit: Gambaran Diri sebagai
Guru Penggerak di Masa Depan

Calon Guru Penggerak menjalani serangkaian kegiatan pendidikan yang tersaji dalam siklus Merrdeka (Mulai dari Diri, Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi, Refleksi Terbimbing, Demonstrasi Kontekstual, Elaborasi Pemahaman, Koneksi Antarmateri, dan ditutup dengan Aksi Nyata. Sebagaimana siklus merupakan tahapan yang berulang-ulang secara tetap dan teratur menuju kesempurnaan, diharapkan siklus Merrdeka ini mewujudkan guru dan murid merdeka sepanjang hayat.

Menginjak pada siklus demonstrasi kontekstual yang di dalamnya memuat gambaran diri sebagai guru penggerak, saya ekspresikan gambaran itu laksana mendongak langit. Sebagaimana langit merupakan hamparan permukaan bumi bagian atas dengan berlapiskan atmoster, segala kebaikan tertuju pada langit. Sering kita jumpai ungkapan “Raihlah cita-citamu setinggi langit” tak lain karena cita-cita itu perlu diraih setinggi-tingginya. Aneka warna biru, merah, jingga, putih, atau hitam yang menghias langit dapat melukiskan bahwa meraih cita-cita sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman merupakan sebuah urgensi.

Mendongak langit–begitulah saya melukiskan diri saya dalam menguraikan gambaran guru penggerak di masa depan. Seolah meraih tempat tertinggi tanpa tiang memang, tetapi perlu saya lakukan sebagai motivasi, semangat, dan sebuah bentuk rasa syukur menjadi calon guru penggerak yang berkesempatan mendapatkan serangkaian kegiatan guru penggerak yang bermuara pada siklus Merrdeka itu. 

Bertalian dengan laksana mendongak langit, berikut ini saya narasikan salah satu kegiatan-kegiatan di dalam kelas yang mewujudkan nilai guru penggerak (berpihak pada murid, mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif) yang telah terjalin selama tiga tahun. 


  1. Menyingkap Sayang (Berpihak pada Murid)

Suasana kelas masih menyingsikan beraneka rasa sesaat setelah kubacakan larik puisi yang mengharu biru. Sejenak aku berdiam diri memandang wajah murid-muridku yang melukiskan ekspresi berpelangi. Sebuah diksi dan irama indah yang menjalin puisi itu betapa mengungkapkan rasa sayangku pada mereka. 

Anindya menatapku tajam. Seolah berjuta rasa akan dia sampaikan dalam detik yang sama. 

“Suka kah dengan belajar hari ini?” tanyaku memecah rasa yang beraneka itu. 

Anindya mengacungkan tangan kanannya. Dia membentuk kertas sedemikan rupa menjadi sebuah mahkota. Dengan penuh sayang, kukatakan, “Mahkota itu bagus sekali, Anindya. Akan kau gunakan untuk apa?” sahutku atas sikapnya itu.

Anindya tak menjawab pertanyaanku. Serta merta dia memakai mahkota itu kemudian menunduk dan maju ke depan kelas. Tak berselang lama, Anindya memerankan tokoh Patih Narotama dengan apiknya. Seisi kelas terhibur dan begitu gembira. Anindya berperan dengan totalitasnya.

“Suguhan pertunjukan peranmu sungguh memukau Anindya,” celoteh Umar.

Anindya hanya tersenyum. Sambil memalunkan tangannya pada tiang peyangga pojok literasi, dia berkata, “Aku senang sekali karena diberi kebebasan untuk berekAku senang sekali diberi kebebasan berekspresi dalam belajar.”

Sepintas beberapa murid lain juga berkata demikian. “Ini Patih Narotama saat membuat Patirtan Dewi Sri di Simbatan, Ibu,” katanya.

Tawa riang memenuhi seisi ruangan. Aku juga bahagia. Ternyata, pembelajaran yang kuterapkan dengan melihat gaya belajar yakni Visual, Auditoril, Kinestetik yang diperkenalkan oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacki. begitu membuat mereka tersentuh dan menikmati pembelajaran ini dengan senang

2. Othak-athik Akun Belajar id. (Mandiri)

Wajah terkejut Amanda begitu menyeruak. Kuhampiri dirinya, “Apa yang sedang terjadi?” tanyaku.

Amanda masih menatap tajam telepon genggamnya. “Kenapa saya belum masuk di kelas online yang Ibu ajar?” tanyanya.

Aku tersenyum. “Benarkah?” tanyaku retorik.

“Bagaimana dengan yang lain?” tanyaku lagi pada murid-murid, “Bisakah kalian mengecek nama kalian sendiri di kelas Bahasa Jawa?” 

Mereka mencari nama mereka dan menggelengkan kepala. Kutahu mereka tak menemukan nama mereka sendiri. Bergegas kuperlihatkan people yang ada di kelas interaktif Google Classroom melalui LCD. Seketika mereka tercengang. “Jadi, apa yang kalian temukan?” tanyaku.

“Kita tidak bisa menemukan nama kita sendiri di kelas, tetapi nama teman kita,” jawab mereka hampir serentak.

“Benar, begitulah,” jawabku.

Kubagikan sebuah link undangan kelas interaktif Google Classroom. “Bagaimana kalian bisa bergabung ke kelas itu?” tanyaku.

Aldo menjawab, “Melalui link dan kode kelas. Kode kelas terlihat dari enam huruf dan satu digit angka terakhir yang terdapat setelah tanda sama dengan.”

“Benar sekali, Aldo. Begitulah cara yang tepat untuk bergabung kelas. Mungkinkah ada cara lain?” tanyaku pada seluruh kelas.

Murid mengingat-ingat kembali. “Ada, dengan menerima undangan guru,” jawab Rina singkat.

“Kalian sudah mandiri semua. Baiklah, sekarang kita bermain berbalas Parikan (pantun Jawa) dengan media google dokumen dengan link yang kusajkan pada Google Classroom,” kataku.

Mereka terlihat mengunduh aplikasi google dokumen dan membaca purwaka (sampiran) yang aku buat dengan merumpangkannya.

Aku hanya tersenyum melihat keaktifan mereka yang begitu menebar. 


3. Simpati dengan Reflektif (Reflektif)

Aku mengenalkan model reflektif 4F atau 4P yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway (1991). Menurutnya, ada empat langkah yang ditempuh, yaitu Peristiwa (Facts), Perasaan (Feelings), Pembelajaran (Findings), Penerapan ke depan (Future) untuk memaknai pengalaman pembelajaran yang baru saja berlangsung. 

Sejernih harapan-harapan keindahan menghias wajah murid-murid. Entah, apa yang mereka tulis, tetapi itu benar-benar membuatku ternganga bahwa refleksi diri sangat urgen dilakukan. 


4. Pesona Sengkalan Jawa (Kolaboratif) 

“Sirna ilang kertaning bumi,” tulisku singkat singkat. 

“Pernahkah kalian mendengarnya?” tanyaku lagi.

Murid-murid mengingat-ingat. “Sepertinya ada dalam pelajaran IPS,” kata Ratna.

“Benar sekali, ada yang menambahkan?” sahutku.

“Melihat dari kata-katanya, itu memuat sebuah peristiwa yang menyedihkan,” jawab Ani.

Aku melihatnya. “Mana yang menunjukkan kesedihan itu?” tanyaku.

“Ilang kertaning bumi. Hilang tertelan bumi,” suara Ani terdengar parau.

“Benar. Itu adalah sebuah peristiwa dahsyat. Runtuhnya Kerajaan Majapahit,” sahutku.

Sejenak aku seolah menganggap mereka kanvas yang mudah untuk aku lukis. Tetapi tidak demikian. Kelas ini memang begitu menyukai sejarah. Selain itu, ini adalah sebuah rasa untuk belajar sengkalan (sebuah kata untuk menandai angka tahun).

“Kita lihat saja,” kataku.

Perlahan kutuliskan sirna ilang kertaning bumi.

“Lihatlah dalam watak sengkalan! Apa yang kalian tangkap?” tanyaku.

Murid-murid mempelajari lagi watak sengkalan yang pernah dipelajarinya minggu lalu. Mereka begitu tertarik karena menyingkap sejuta misteri. “Sirna ada di watak 0, ilang juga demikian. Kertaning watak 4, dan bumi warak 1,” sahut Deni.

“Lalu, apa kesimpulan kalian?” tanyaku.

“0041,” jawab mereka.

“Ada yang lain?” tanyaku.

“Diubah saja? Menjadi 1400,” jawab Amir.

“Benar sekali. Itu adalah angka tahun yang menunjukkan keruntuhan Kerajaan Majapahit,” jawabku.

Kemudian ada yang berkata, “Bagaimana jika kita menyusun sengkalan tahun lahir kita?” sarannya.

Mereka kompak senang sekali. Paduan watak-watak angka yang mereka bentuk menjadi sengkalan begitu menuansakan kolaboratif mereka.

5. Kaligrafi Aksara Jawa (Inovatif)

Aku melihat mereka merangkai nama mereka bertuliskan aksara Jawa menjadi kaligrafi aksara Jawa yang menakjubkan. Mencari referensi dari berbagai media dan mereka ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) benar-benar menjadi sebuah karya yang begitu apik.

Jenis kaligrafi yang mereka buat begitu beragam. Berwujud suatu bentuk tertentu yang indah. Jenis tulisannya juga begitu manis. Kuberikan mereka kebebasan, tentu saja dalam tahap bagaimana menulis Aksara Jawa yang benar.

Mereka memajangnya dalam papan pajang kelas. Hari ini penuh warna.


Magetan, Kala Senja begitu Syahda

21 November 2022

Titim Matun Nasriyah

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesinambungan Peran Pendidik dalam Mewujudkan Filosofi Pendidikan KHD dan Profil Pelajar Pancasila dengan Paradigma Inkuiri Apresiatif (IA)

Penentuan Visi: Pencerahan dan Implementasinya

Berefleksi Modul PGP 1.2 “Nilai dan Peran Guru Penggerak” melalui Model Description, Examination and Articulation of Learning (DEAL)